Tidak dipungkiri lagi bahwa dampak
finansial dari penyebaran pandemi Covid-19 terjadi pada beberapa sektor
korporasi utama. Sektor yang paling terdampak adalah sektor yang bergantung
pada mobilitas manusia dan juga sektor padat karya. Sektor yang bergantung pada
perdagangan dan mobilitas manusia yang paling terpapar, seperti tekstil,
manufaktur otomotif, supplier otomotif, pariwisata, maskapai penerbangan,
pelayaran, restoran, perhotelan hingga usaha ritel.
Untuk mengantisipasi keadaan yang tak
menentu sekarang ini, pelaku usaha tentunya harus memiliki pandangan dan
strategi lain agar perusahaannya tidak mengalami kebangkrutan. Salah satu aksi
korporasi yang dapat dilakukan adalah dengan memilih skema investasi usaha
patungan atau Joint Venture. Skema
investasi Joint Venture masih banyak dipakai para pemodal
karena skema ini dipercaya mampu meningkatkan potensi keberhasilan usaha
melalui kolaborasi keunggulan sumber daya dan keahlian yang dimiliki
masing-masing entitas bisnis. Penggabungan perusahaan juga dipercaya mampu
menghemat ongkos daripada operasional perseroan.
Joint venture (JV) merupakan suatu kerangka
perjanjian antara dua pihak (perusahaan) atau lebih yang memiliki tujuan yang
sama. Perjanjian ini biasanya bermuara pada terbentuknya suatu perusahaan Joint
Venture Company (JVC). Kedua pihak menyatukan sumber daya dan berkolaborasi
dalam menjalankan kegiatan bisnis dengan tujuan saling menguntungkan. JV
sendiri dapat mengambil berbagai struktur atau badan hukum yang dapat digunakan.
JVC yang paling umum digunakan dan dipilih pelaku usaha di Indonesia adalah dalam
bentuk Perseroan Terbatas (PT).
Pada tahapan pelaksanaannya, dalam
perumusan Joint Venture Agreement
(JVA) perlu memperhatikan sejumlah hal, terutama pada aspek hukum. Dasar hukum
JVA ini setidaknya mengacu pada dua peraturan yaitu UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Selain itu, perjanjian JVA ini juga harus memenuhi persyaratan berkontrak
sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Tujuan
JVA adalah untuk memperluas pasar baru, lebih banyak mendapatkan modal,
menciptakan produk baru, menggabungkan sumber daya dan lain-lain untuk
kepentingan komersial bisnis.
Dalam proses pendirian JV dan
perumusan JVA, maka haruslah memperhatikan tata kelola organsasi perusahaan
yang akan dibentuk dalam JVC. Dalam organisasi dan tata kelola perusahaan,
harus terdapat klausul mengenai pendirian perusahaan, merumuskan tujuan dan scope of business yang akan dijalankan agar kebutuhan biaya tidak
melenceng dari tujuan jalannya usaha, mengatur/memutuskan jumlah investasi
modal yang harus dipastikan sesuai dengan komitmen para partner dalam JVC, menunjuk
direksi dan komisaris yang dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Perseroan
Terbatas.
Membidik
Peluang Dari Usaha Patungan
Sebenarnya tidak semua usaha di
Indonesia terdampak atau mengalami kerugian dikarenakan adanya pandemi ini,
industri yang justru menghasilkan keuntungan adalah pada sektor logistik,
produsen alat kesehatan dan obat-obatan, industri pangan, serta pendidikan. Operasional
industri-industri tersebut tak dibatasi, selain itu pola usahanya juga dapat
dengan mudah menyesuaikan diri dengan aturan PSBB dan diantaranya memberikan
layanan secara daring dan minim kontak fisik.
Pada prakteknya, para pelaku usaha
yang berjumlah dua atau bahkan bisa lebih dapat menggunakan opsi usaha patungan
agar usahanya tetap berjalan dengan mulai ekspansi ke wilayah bisnis yang saat
ini tidak terdampak pandemi Covid-19 atau sekedar untuk mempertahankan
bisnisnya. Opsi patungan dapat dipilih karena dalam hal ini akan difokuskan
pada kolaborasi keunggulan sumber daya dan keahlian yang dimiliki masing-masing
entitas bisnis, sehingga antar pelaku usaha dapat melengkapi satu dengan yang
lainnya, terutama pada aspek permodalan dan infrastruktur usaha. Dengan
skema joint venture ini, para pihak mendapatkan beberapa
manfaat seperti:
1. Mengurangi kebutuhan modal dan sumber daya lainnya karena adanya unsur pembagian kebutuhan;
2. Transfer teknologi antar pihak;
3. Meminimalisasi resiko usaha;
4. Memungkinkan untuk mengembangkan usaha sampai ke skala global.
1. Mengurangi kebutuhan modal dan sumber daya lainnya karena adanya unsur pembagian kebutuhan;
2. Transfer teknologi antar pihak;
3. Meminimalisasi resiko usaha;
4. Memungkinkan untuk mengembangkan usaha sampai ke skala global.
Joint venture dapat dilakukan dengan melakukan
penanaman modal oleh investor dalam negeri (PMDN) maupun oleh investor asing/Penanaman
Modal asing (PMA), bisa dilakukan kolaborasi atau gabungan antara PMDN dengan
PMA, dapat hanya PMDN saja atau dilakukan hanya PMA saja, hal ini tentunya
melihat akan kebutuhan kondisi bisnis yang akan dijalankan. Perlu diperhatikan
bahwa untuk konteks di Indonesia, pendirian usaha patungan/Joint venture hanya
bisa dilakukan terhadap dua pemegang saham yang tidak memiliki hubungan
afiliasi, contoh afiliasi yang dihindari adalah afiliasi antara induk
perusahaan dengan anak perusahaan tidak bisa dilakukan atau tidak dapat membentuk
usaha patungan/JV.
Pada prakteknya, JV tidak hanya
menghasilan suatu usaha baru (new entity),
yakni joint venture company
(JVC), namun opsi JV juga dapat dilakukan tanpa membentuk suatu usaha baru atau
dikenal dengan SPV (special purpose vehicle), hal ini bertujuan untuk
melakukan kegiatan usaha di salah satu perusahaan yang sudah berjalan. SPV sendiri diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127/2016 yang merupakan perusahaan yang didirikan
semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan
pendirinya, seperti pembelian, dan/atau pembiayaan investasi dan tidak
melakukan kegiatan usaha aktif.
Mitigasi
Resiko Hukum Dalam Pendirian Usaha Patungan
Bahwa situasi pandemi Covid-19 yang
saat ini terus berkembang dan penuh ketidakpastian, hal tersebut menyebabkan
diperlukannya investigasi uji tuntas yang lebih luas untuk menilai kerentanan
bisnis dari bisnis usaha patungan. Sangat penting diperlukan pemahaman yang
mendalam dan menyeluruh tentang bisnis yang akan dipilih beserta dengan kajian
teknis atas target pasarnya. Pertimbangan penting dalam pemeriksaan uji tuntas dari
pendirian usaha patungan adalah sebagai berikut:
- Melakukan uji tuntas pada Rantai pasokan (supply chain) dan jaringan konsumen perusahaan patungan. Hal ini untuk memahami ruang lingkup geografis operasi, ketergantungan, dan risiko bisnis perusahaan serta sejauh mana hal itu dapat dipengaruhi oleh gangguan rantai pasokan dan apakah perusahaan patungan memiliki rencana mitigasi yang tepat.
- Dalam
membuat perjanjian JVA harus memenuhi syarat-syarat berkontrak sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat sah perjanjian ini dibagi dengan dua
bagian. Pertama subjek, yakni para pihak harus sepakat dan cakap, yang
harus sesuai dengan anggaran dasar JV. Kedua objektif, di mana JVA
memiliki sebab yang halal, agar perjanjian tidak bertentangan dengan
norma-norma, serta objek perjanjiannya harus sudah dapat ditentukan apa
prestasinya.
- Dalam
merumuskan JVA, setidaknya harus memuat pasal-pasal penting yang berkaitan
dengan prosedur pendirian perusahaan, seperti bentuk perusahaan, aspek
permodalan, apakah masuk dalam daftar negatif investasi (DNI) atau tidak
bagi PMA, mengatur ketentuan/cara agar salah satu pemegang saham dapat
keluar dari perusahaan (exit),
prosedur pengalihan saham, cara menyelesaikan perselisihan di antara
pemegang saham, cara mengoperasikan perusahaan sehari-hari dan hak-hak
dari masing-masing pemegang saham, dan kewajiban setiap pemegang saham.
- Bahwa
seriusnya situasi Covid-19 mengakibatkan perlu adanya hak khusus yang
diberikan dalam perjanjian joint
venture sebagai dasar terjadinya perusahaan patungan. Salah satu termination right yang sering
digunakan adalah klausul force
majeure. Force majeure adalah klausul yang secara tegas menyebutkan
peristiwa-peristiwa tertentu dapat dikecualikan dari pelaksanaan kewajiban
kontrak (performance) dan
merupakan cerminan dari perkiraan risiko yang disepakati antara
pihak-pihak yang berkontrak. Dalam praktiknya, ketentuan force majeure
jarang terlihat dalam dokumen transaksi JVA. Namun, kondisi saat ini
adalah waktu yang tidak pasti dan berbeda dengan keadaan yang biasanya sehingga
memasukkan ketentuan force majeure dalam perjanjian JV merupakan cara yang
tepat sebagai mekanisme perlindungan untuk mengurangi risiko, garansi
serta pelanggaran pemutusan kontrak.
Bentuk usaha patungan atau JV tentunya
dapat dijadikan opsi bagi pelaku usaha agar bisa survive ditengah kondisi yang tidak menentu sekarang ini, dimana
saat ini para pelaku usaha dituntut untuk memikirkan pola bisnis baru agar
usahanya dapat terus bertahan. Pelaku usaha juga harus melakukan
langkah-langkah pencegahan untuk memitigasi risiko dalam rangka mengantisipasi penurunan
lebih lanjut dari iklim ekonomi global.
Oleh:
M.Indra Kusumayudha S.H.,
Founding Partner Hari Indra & Partners, Counsellors At Law
Oleh:
M.Indra Kusumayudha S.H.,
Founding Partner Hari Indra & Partners, Counsellors At Law