Istilah TANAH yang ada pada UUPA
(Undang – Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang biasanya disebut Undang-Undang Pokok agraria atau UUPA) sama dengan
PERMUKAAN BUMI. Secara umum sebutan tanah dalam keseharian kita dapat dipakai
dalam berbagai arti sedangkan yang di maksud dalam Pasal 4 UUPA bahwa : dalam
hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian
yang telah diberi batasan resmi oleh
UUPA sebagaimana dalam Pasal 4 bahwa hak menguasai dari negara di tentukan
adaya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah. Tanah merupakan
suatu benda bernilai ekonomis oleh sebab itulah menjadi kewajiban setiap orang
untuk memelihara dan mempertahankan eksistensinya sebagai benda yang bernilai
ekonomi yang tinggi.
Pengadaan Tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Yang dimana objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat
dinilai.
Kepentingan Umum adalah
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ganti
Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam
proses pengadaan tanah, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,
dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak.
Ketentuan mengenai pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum di ataur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dan harus diselenggarakan sesuai
dengan:
a.
Rencana Tata Ruang Wilayah;
b.
Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c.
Rencana Strategis; dan
d.
Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
Tujuan Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud UU No 2 Tahun 2012 dalam Pasal 4
ayat (1) digunakan untuk pembangunan :
a.
Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c.
Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d.
Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e.
Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f.
Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
listrik;
g.
Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h.
Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i.
Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j.
Fasilitas keselamatan umum;
k.
Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l.
Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m.
Cagar alam dan cagar budaya;
n.
Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o.
Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau Konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk Masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
e.
Prasarana pendidikan atau sekolahPemerintah/Pemerintah Daerah;
f.
Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah;
g.
Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pihak yang Berhak wajib
melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana akan digunkana untuk Jalan Tol wajib
diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta yang diselenggarakan melalui tahapan
Perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Instansi yang memerlukan
tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Perencanaan Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud didasarkan atas Rencana Tata Ruang
Wilayah dan prioritas pembangunan yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang
bersangkutan.
Instansi yang dimaksud adalah
lembaga negara, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum
Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat
penugasan khusus Pemerintah.
Dalam rangka menanggulangi masalah pengadaan tanah, pemerintah
menerbitkan beberapa peraturan perundangan agar tanah yang dimanfaatkan sesuai
peruntukannya.
Di antaranya Permendagri No 2 Tahun 1976 tentang penggunaan acara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah, pembebasan tanah oleh pihak
swasta untuk kepentingan pembangunan proyek yang bersifat menunjang kepentingan
umum dan fasilitas sosial.
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketentuan pelaksanaannya diatur dalam
PMNA/KBPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres Nomor 55
Tahun 1993.
Dalam pelaksanaan pembebasan tanah sering bersentuhan dengan tanah
negara. Tanah Negara dalam penguasaan pemerintah/departemen yang tercatat
sebagai aset (Barang Milik Negara) sebagaimana diatur dala UU No 1 atahun 2004
tentang Perbendahraan Negara. Ada yang menafsirkan bahwa tanah negara tidak
diganti rugi, tetapi ada juga yang menafsirkan bisa diganti rugi.
Dengan demikian, penafsiran atau definisi tanah negara harus segera
diselesaikan agar pelaksanaan pembangunan menjadi lancar serta tidak melanggar
aturan atau hukum. Hal itu dianggap urgen karena banyak kegiatan pembebasan
tanah menjadi terhenti. Hal itu penting sebagai bahan masukan kepada pemerintah
yang saat ini sedang menyusun RUU Pengadaan Tanah.
Pengertian tanah negara menurut PP Nomor 8 Tahun 1953 tentang
Penguasaan Tanah Negara adalah tanah yang bebas dari hak yang melekat di atas
tanah tersebut, apakah tanah hak barat maupun hak adat.
PERMASALAHAN
1.
Apakah
yang dimaksud Tanah Negara?
2.
Bagaimana
Satatus Tanah yang dikuasai TNI?
3.
Bagaimana
Penanganan pengdaan tanah untuk Kepentingan Umum yang melewati tanah yang
dikuasai TNI?
4.
Bagaimana
bentuk penggantian Ganti Rugi terhadap Pengadaan Tanah yang melewati Tanah yang
dikuasai TNI?
PEMBAHASAN
“Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Yang dimaksud dengan Tanah Negara
menurut pasal 1 PP No 24 tahun 1997 adalah tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah dimana bidang tanah
adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas.
Negara menguasai tanah bukan memiliki tanah. Sesuai dalam Pasal 33 ayat
3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Negara diberikan kewenangan untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah
bumi, air dan ruang angkasa untuk kemakmuran rakyat.
Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atau dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “ possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki
Bentuk lain bisa juga bahwa tanah
tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin yang berhak atau dalam arti “okupasi”.
Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada penguasaan secara pisik atau
factual tanpa diikuti hak dalam arti sah secara hukum.
Dalam tataran politik hukum tanah pada waktu itu tanah Negara adalah tanah milik Negara (Raja/Ratu) diterapkan di Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “ agrarisch besluit” yang diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 (S. 1870-118).
Dalam pasal 1, disebutkan:
(dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein ( milik ) Negara).
Atas dasar pasal 1 tersebut maka
dikenal adanya tiga bentuk tanah Negara yakni :
Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun.
Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun.
Kedua, tanah Negara yang tidak bebas yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka ( hak ulayat masyarakat hukum adat).
Ketiga Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Semisal tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.
Secara lebih jelas yang termasuk
tanah Negara sebagai contoh sebagai berikut :
1.
Tanah-tanah
Kawasan Hutan, yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang
Undang Pokok Kehutanan. Hak Penguasaan ini pada hakikatnya juga merupakan
pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara.
2.
Tanah
yang telah di wakafkan secara tidak langsung telah menjadi tanah negara,yang di
pergunakan untuk kepentingan umum.
3.
Tanah-tanah
Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan, yang
merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara
kepada pemegang haknya.
4.
Tanah-tanah
Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat di suatu
daerah.
Tanah yang diperuntukan untuk
kepentingan Negara langsung digunakan Negara melaui surat Keptusan Hak atas
tanah yang di kelurakan oleh BPN ( Badan Pertanahan Nasional).
Tanah yang dikuasai oleh Pemerintah
bukan berati tanah tersebut milik pemerintah, tanah tersebut adalah tanah
Negara yang diberikan untuk membantu kinerja pemerintah untuk kepentingan
rakyat dan untuk kepentingan umum.
TNI merupakan lembaga Pemerintah di
bidang pertahanan yang diatur dalam pasal 1 Undang-undang No 3 Tahun 2002,
dimana kedudukan TNI di bawah Departemen Pertahanan, pengaturan pemberian Hak
suatu tanah untuk lembaga pemerintah dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah,
tanah yang di gunakan seluruh lembaga pemerintah merupakan TANAH NEGARA yang di berikan Hak Pakai didalamnya yang dimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1996 tentang Hak Pakai atas Tanah.
Sebagaian besar tanah yang digunakan
TNI, berasal dari aset tanah Negara dan tanah departemen lain yang diberikan
untuk TNI.
Berdasrkan PP No 40 tahun 1996 dalam
Pasal 40 Jangka waktu pemberian Hak Pakai paling lama 25 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun.
Tanah yang dikuasai oleh TNI dalam
Peraturan Menteri Pertahanan No 9 tahun 2014 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan Dan Pemindahtanganan
Barang Milik Negara Di Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional
Indonesia dapat di kategorikan Barang Milik Negara adalah semua barang yang
diperoleh berdasarkan beban APBN atau melalui perolehan yang sah.
Pengelola barang milik
Negara dalam lingkungan TNI adalah Menteri Keuangan dan Pengguna Barang Milik
Negara dalam Lingkungan TNI adalah Menteri Pertahanan. Dalam pasal 15
Pemanfaatan BMN dapat dilaksanakan terhadap BMN selain Alutsista dalam bentuk:
1.
sewa;
2.
pinjam pakai; dan
3.
kerja sama pemanfaatan.
4.
BGS/BSG (Bangun Guna Serah/ Bangun Serah Guna)
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No
23/PMK.06/2010 Tentang Penataan Pemanfaatan Barang Milik Negara Di Lingkungan
Tentara Nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan BMN TNI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara tertib dan akuntabel dalam rangka
optimalisasi penerimaan negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sewa adalah pemanfaatan Barang Milik
Negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang
tunai
Pinjam Pakai adalah penyerahan
penggunaan Barang Milik Negara antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu
berakhir Barang Milik Negara tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah pusat
Ketentuan Teknis ditaur dalam Pasal 12 dan 13.
Kerjasama Pemanfaatan adalah
pendayagunaan Barang Milik Negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu
dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan
lainnya.
Bangun Guna Serah (BGS) adalah
pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah oleh pihak lain dengan cara
mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu
Bangun Serah Guna (BSG) adalah
pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah oleh pihak lain dengan cara
mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya dan setelah selesai
pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu yang disepakati.
Pemindahtanganan Barang
Milik Negara sesuai
dalam Pasal 24 Permen Pertahanan No 9 tahun 2014 Pemindahtanganan
BMN dapat dilaksanakan dalam bentuk:
1.
penjualan;
2.
tukar menukar; dan
3.
hibah.
Dalam Undang-undang No 38 Tahun 2004
Tentang jalan bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan jalan disebutkan terhadap
pemakai atau pengguna tanah negara berhak mendapat ganti Kerugian yang di
tuangkan dalam bentuk kesepakatan sesuai dengan peraturan pertanahan.
Dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pengertian
gantirugi adalah penggantian atas nilai tanah
berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah
sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Pengadaan dan rencana
pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi kepentingan umum.
Pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana
pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dengan dengan dan berdasar
pada Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Ganti kerugian dalam
rangka pengadaan tanah diberikan untuk :
a.
hak atas tanah;
b.
bangunan;
c.
tanaman;
d.
benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah
Bentuk ganti kerugian
dapat berupa :
a.
uang;
b.
tanah pengganti;
c.
pemukiman kembali;
d.
gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e.
bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dasar dan cara
perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :
a.
Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya,
dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir
untuk tanah yang bersangkutan.
b.
Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah
yang bertanggung jawab di bidang bangunan.
c.
Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah
yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
PENATAGUNAAN TANAH
Tanah adalah unsur ruang
yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan penataan ruang wilayah.
Penataan ruang wilayah, mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara
konsekuen dan konsisten dalam kerangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Sehubungan dengan itu dan atas
perintah Pasal 16 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
maka dalam rangka pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah yang
disebut juga pola pengelolaan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Sesuai dengan penjelasan
Pasal 30 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ketentuan
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan sejalan dengan ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, untuk pedoman
pelaksanaannya seperti dimaksud dalam undang-undang tersebut perlu dibuat
Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan Tanah sebagai subsistem penataan
ruang. Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan Tanah ini meliputi kebijakan
penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah.
Penyelenggaraan
penatagunaan tanah di kabupaten/kota meliputi:
1.
penetapan kegiatan penatagunaan tanah;
2.
pelaksanaan kegiatan penatagunaan tanah.
Dalam rangka penetapan
kegiatan penatagunaan tanah dilakukan inventarisasi penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah; penetapan neraca penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah; penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta kajian kondisi fisik wilayah. Selain menjadi bahan utama dalam rangka
penyusunan pola pengelolaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, hasil
inventarisasi yang disajikan dalam
peta dengan tingkat ketelitian berskala lebih besar dari
peta Rencana Tata Ruang Wilayah dikelola dalam suatu sistem informasi manajemen
pertanahan antara lain melalui sistem informasi penatagunaan tanah.
Penyesuaian penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah dapat dilaksanakan melalui penataan kembali,
upaya kemitraan, penyerahan dan pelepasan hak atas tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka
penyelenggaraan penatagunaan tanah
dilaksanakan pembinaan dan pengendalian. Pembinaan dilaksanakan
melalui pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, dan arahan. Sedangkan
pengendalian dilaksanakan
melalui pengawasan yang diwujudkan melalui supervisi, pelaporan, dan
penertiban. Penatagunaan tanah merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. Bagi Kabupaten/Kota yang belum menetapkan
Rencana Tata Ruang Wilayah, penatagunaan tanah
merujuk pada rencana tata ruang lain yang telah ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan untuk daerah bersangkutan.
Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan
lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam menyusun
program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi
dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga
pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan
selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota yang sudah ditetapkan.
Yang dimaksud dengan
wajib menggunakan tanah adalah pemegang hak atas tanah mematuhi syarat-syarat penggunaan
dan pemanfaatan tanah yang
telah ditetapkan.Yang dimaksud dengan dapat
memanfaatkan tanah adalah
pemegang hak atas
tanah dapat meningkatkan
nilai tambah dengan
cara melakukan kegiatan lain yang tidak mengganggu penggunaan
tanahnya, misalnya memanfaatkan sawah untuk
mina padi (budidaya ikan di sawah).
Dalam Peraturan
Pemerintah No 16 tahun 2004 tentang Penataguanaan Tanah, Penatagunaan tanah
adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai
satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Tujuan
dari tata guna tanah harus diarahkan
untuk dapat mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut :
1.
Mengusahakan
agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat.
Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
2.
Mengusahakan
agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.
Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akirnya akan timbul kerusakan tanah.
Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akirnya akan timbul kerusakan tanah.
3.
Mengusahakan
adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah.
Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah.
Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat.
Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah.
Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat.
4.
Jaminan
kepatian hukum penting untuk
melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek
pembangunan.
KESIMPULAN
Tanah Negara adalah tanah
yang langsung dikuasai oleh Negara yang bukan tanah ulayat. Sesuai dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara menguasai
tanah bukan memiliki tanah.
TNI merupakan lembaga Pemerintah di
bidang pertahanan yang diatur dalam pasal 1 Undang-undang No 3 Tahun 2002,
dimana kedudukan TNI di bawah Departemen Pertahanan, pengaturan pemberian Hak
suatu tanah untuk lembaga pemerintah dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah,
tanah yang di gunakan seluruh lembaga pemerintah merupakan TANAH NEGARA yang di berikan Hak Pakai didalamnya yang dimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1996 tentang Hak Pakai atas
Tanah.
Pengelola barang milik
Negara dalam lingkungan TNI adalah Menteri Keuangan dan Pengguna Barang Milik
Negara dalam Lingkungan TNI adalah Menteri Pertahanan. Dalam pasal 15
Pemanfaatan BMN dapat dilaksanakan terhadap BMN selain Alutsista dalam bentuk:
1.
sewa;
2.
pinjam pakai; dan
3.
kerja sama pemanfaatan.
4.
BGS/BSG (Bangun Guna Serah/ Bangun Serah Guna)
Dalam Undang-undang No 38 Tahun 2004
Tentang jalan bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan jalan disebutkan terhadap
pemakai atau pengguna tanah negara berhak mendapat ganti Kerugian yang di
tuangkan dalam bentuk kesepakatan sesuai dengan peraturan pertanahan.
Ganti kerugian dalam
rangka pengadaan tanah diberikan untuk :
a.
hak atas tanah;
b.
bangunan;
c.
tanaman;
d.
benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah
Bentuk ganti kerugian
dapat berupa :
a.
uang;
b.
tanah pengganti;
c.
pemukiman kembali;
d.
gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e.
bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dasar dan cara
perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :
a.
harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya,
dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir
untuk tanah yang bersangkutan.
b.
nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah
yang bertanggung jawab di bidang bangunan.
c.
nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah
yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Penatagunaan tanah merupakan ujung
tombak dalam mengimplementasikan RTRW di lapangan. Hal ini didasarkan bahwa, dalam
setiap jengkal tanah, pada hakekatnya telah melekat hak kepemilikan tanah.
Sehingga untuk mewujudkan RTRW dalam setiap jengkal tanah mau tidak mau harus
berinteraksi dengan pemegang hak atas tanah tersebut.
Penatagunaan tanah memiliki dua peran
utama dalam mewujudkan rencana tata ruang guna kepentingan masyarakat secara
adil. Pertama, peran secara makro, penatagunaan tanah bersama-sama dengan
instansi lain baik pusat maupun daerah, bekerja sama untuk merumuskan kebijakan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Hal ini terwujud
dalam pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) maupun
didaerah (BKPRD). Perlu diketahui bahwa sampai dengan hari ini, penatagunaan
tanah yang diemban oleh Badan Pertanahan Nasional (Direktorat Penatagunaan
Tanah), masih merupakan instansi vertikal. Kondisi ini lebih memudahkan kontrol
maupun koordinasi antara penatagunaan tanah nasional maupun daerah. Selain itu
penatagunaan tanah juga bertugas untuk menyusun neraca penatagunaan tanah. Di
dalam neraca ini terdapat evalusai kesesuaian RTRW dengan penggunaan tanah saat
ini, serta ketersediaan tanah untuk pembangunan didasarkan pada RTRW,
penggunaan, dan penguasaan tanah. Neraca ini tentunya sangat berguna dalam
revisi dan evaluasi RTRW.