I. Pendahuluan
Perusahaan Energi
multinasional Chevron kesandung masalah hukum di Indonesia. Sejumlah
karyawannya ditetapkan sebagai tersangka terkait proyek bioremediasi. Turut
terseret dalam kasus ini adalah beberapa rekanan Chevron yang juga terkait
dengan proyek bioremediasi. PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) berdasarkan
kontrak kerja sama sejak Tahun 2003-2011 telah melaksanakan kegiatan
pengelolaan lingkungan untuk membersihkan limbah minyak dengan sistem
pembayaran cost recovery senilai US$ 270 juta, namun pada
kenyataannya pengelolaan lingkungan termasuk dalam hal ini pengolahan limbah
tanah tercemar minyak dengan sistem Bioremediasi sama sekali tidak dikerjakan
sesuai ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Nomor 128 Tahun 2003 Tentang Tata
Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi oleh Minyak Bumi, sehingga diduga menimbulkan kerugian negara
sebesar nilai kontrak (Total Loss).
Kasus Chevron ini juga
menyeret Ir. Ricksy Prematury, Dipl., M.M., selaku Direktur PT. Green Planet
Indonesia (PT. GPI). Ir. Ricksy Prematury secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Problematika muncul
pada persoalan pembuktian dan adanya kerugian terhadap keuangan Negara,
mengingat dalam perjalanannya segala kegiatan operasional dan manajemen
lingkungan yang dilakukan dalam kegiatan bioremediasi tidak dibiayai oleh
keuangan Negara, sehingga tidak ada potensi kerugian Negara di dalamnya. Selain
itu semua biaya terkait dengan program bioremediasi yang dijalankan oleh
Chevron saat ini tidak dimasukkan dalam biaya cost
recovery, dan proyek ini sepenuhnya ditanggung oleh chevron. Hal ini
menguatkan bahwa tidak ada uang Negara yang digunakan disana. Untuk itu akan
dikaji secara mendalam terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan
bahwa Ir. Ricksy Prematury telah melakukan tindak pidana korupsi, apakah benar
telah memenuhi semua unsur-unsur yang ada dalam UU Tipikor atau malah
sebaliknya.
II. Terkait Surat Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum
Dalam perkara ini, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan dakwaan sebagai berikut:
1. Dakwaan Primer
Perbuatan Terdakwa
tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18
Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
2. Dakwaan Sekunder
Perbuatan Terdakwa
tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
III. Terkait Surat Tuntutan Jaksa
Penuntut Umum
Dalam perkara ini, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan dakwaan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Ir. Ricksy Prematury, Dipl., M.M., terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi melanggar
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP
sebagaimana Dakwaan Primair;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ir. Ricksy Prematuri, Dipl.,
M.M., denga pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap berada dalam
tahanan, dan membayar denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
subsidiair selama 6 (enam) bulan kurungan;
3. Membayar uang pengganti sebesar US$ 3,089,281.26 (tiga juta
delapan puluh sembilan ribu dua ratus delapan puluh satu Dollar Amerika koma
dua puluh enam sen) jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
tidak dibayar, harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut, dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana dengan pidana
penjara selama 6 (enam) tahun, apabila Terpidana membayar uang pengganti, maka
jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan
lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban
membayar uang pengganti;
4. Menyatakan barang bukti sebagaimana daftar barang bukti nomor urut
abjad (A), (B), (C), (D), (E), (F), (G), (H), dan (I) agar dipergunakan dalam
perkara lain atas nama Widodo dan Alexia R. Tirtawidjaya;
5. Menetapkan kepada Terdakwa Ir. Ricksy Prematury, Dipl., M.M.,
untuk membayar biaya perkara sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah);
IV. Terkait Amar Putusan Mahkamah
Agung 2330K/PID.Sus/2013
Dalam putusan kasasinya,
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Ir.
RICKSY PREMATURY, Dipl. M.M. tersebut. Mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Membatalkan
putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta
No. 28/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 12 September 2013 yang membatalkan putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 7 Mei 2013;
Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan Terdakwa Ir. Ricksy Prematury, Dipl. M.M. telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menghukum PT. Green Planet Indonesia membayar uang pengganti
sebesar US$.3.089.281,26 (tiga juta delapan puluh sembilan ribu dua ratus
delapan puluh satu Dollar Amerika koma dua puluh enam sen) dengan ketentuan
jika PT. Green Planet Indonesia tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut;
4. Menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa,
dikurangkan seluruhnya dengan pidana penjara yang dijatuhkan;
5. Memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan;
V. Pendapat Hukum (legal
opinion)
a. Kronologis Dan Fakta Hukum
Kasus Korupsi Bioremediasi
Sebelum mengkaji unsur
kerugian Negara dalam kasus chevron, maka akan dijelaskan fakta hukum serta
kronologis terkait pelaksanaan proyek bioremediasi. Dalam pelaksanaan
bioremediasi, pada tahun 2000 Chevron mengajukan permohonan izin ke Kementrian
Lingkungan Hidup (KLH) untuk penggunaan bioremediasi sebagai proses pengolahan
tanah terpapar minyak untuk pertama kalinya di Indonesia. Lalu pada tahun 2002
Kementerian Lingkungan Hidup mengabulkan permohonan izin Chevron untuk memulai
operasi program bioremediasi menyeluruh di Sumatera. Pada tahun 2003 Chevron
memulai program bioremediasi skala penuh di wilayah operasi Sumatera. Dalam
pelaksanannya, pada tahun 2006 Chevron dibantu dengan kontraktor yang dipilih
melalui proses pengadaan yang terbuka, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah
dalam melakukan aktivitas lapangan, termasuk dengan menyediakan, mengoperasikan
dan merawat peralatan berat yang dibutuhkan dalam lingkaran proses. Pada tahun
2008 PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SGJ) terpilih
melalui proses pengadaan yang terbuka, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk melakukan kegiatan lapangan. Pada tahun 2011 PT GPI dan PT SGJ terpilih
kembali setelah melalui proses pengadaan yang terbuka, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk melakukan kegiatan lapangan. Dalam pengadaan ini, PT. Riau Putra Kemari
yang diwakili oleh Edison Effendi menjadi salah satu peserta pengadaan yang
tidak lolos proses seleksi.
Mengkaji Unsur-Unsur
Tindak Pidana Korupsi Dalam Kasus Korupsi PT. Green Planet Indonesia dan PT.
Chevron Pacific Indonesia
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa dengan menggunakan Pasal 2 Ayat
(1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun
2001 (UU Tipikor) jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Pasal 2 ayat (1) UU
Tipikor menjelaskan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).” Berdasarkan
ketentuan pasal di atas, maka dapat kita lihat unsur-unsur yang harus ada dalam
pasal tersebut adalah (1) setiap
orang, (2) Unsur melawan hukum, (3) Unsur memperkaya diri sendiri,
orang lain atau suatu korporasi (4) Unsur adanya kerugian negara atau
perekonomian negara secara nyata. Ketiga unsur diatas haruslah dibuktikan
oleh Jaksa penuntut umum dan apabila ada satu unsur saja yang tidak terbukti
maka seseorang tidak dapat dituntut secara pidana melakukan tindak pidana
korupsi. Sedangkan Definisi kerugian Negara dapat kita lihat dalam penjelasan
Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk.”
1. Unsur Melawan Hukum
Berdasarkan ketiga aspek
di atas, maka akan kita lihat apakah chevron beserta rekanannya telah salah dan
terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Secara ketentuan regulasi proyek
bioremediasi dilakukan dengan melalui proses tender yang transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sejak awal pelaksanaan tender Chevron bersama dengan
perusahaan PT Green Planet Indonesia tidak mendapatkan masalah hukum dan proses
tender dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Begitu juga dengan seluruh pembiayaan dalam proyek bioremediasi, seluruh biaya
dan pengeluaran proyek bioremediasi dilakukan oleh pihak chevron sepenuhnya.
Dalam pelaksanaannya,
Chevron beserta PT Green Planet Indonesia telah sesuai dan patuh terhadap
Undang-Undang 32 Tahun 2009 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH), dimana UU PPLH ini sebagai induk perundang-undangan dalam bidang
lingkungan. Ketentuan pasal 59 ayat (1) UU PPLH menjelaskan bahwa Setiap orang yang menghasilkan
limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Chevron juga telah mengantongi izin
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 59 ayat (4) UU PPLH yang menegaskan bahwa “Pengelolaan
limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.”
Ketentuan UU PPLH juga
dijabarkan lagi pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, yaitu pada Pasal 40 Ayat (1) huruf a
menyatakan bahwa “Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib
memiliki izin operasi dari Kepala Instansi yang bertanggung jawab”. Sejak beroperasinya
Chevron dalam bidang minyak bumi dan pertambangan yang menghasilkan asam
tambang dan minyak yang notabennya merupakan limbah B3, chevron sudah berupaya
penuh dalam mengelola limbah B3, sehingga dalam pelaksanaannya Chevron sudah
berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Chevron telah mendapat
izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup Rl untuk Pengolahan Tanah
Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis Menggunakan Fasilitas Soil Bioremediation Facility (SBF). Berdasarkan Surat dari
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia No :
B-7079/Dep.lV/LH/PDAL/06/2013, tertanggal 20 Juni 2013 yang ditujukan kepada
Penasihat Hukum Terdakwa yang ditandatangani oleh Dra. Masnellyarti Hilman,
M.Sc. Deputi Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun, dalam Point 2 disebutkan: “Bahwa izin yang dimaksud
dalam angka 1 di atas diberikan kepada penghasil limbah bahan berbahaya dan
beracun dalam hal ini adalah PT. Chevron Pacific Indonesia, sedangkan
kontraktor yang melaksanakan kegiatan atau pekerjaan Bioremediasi tidak
diwajibkan memiliki izin”, dengan demikian PT. Chevron Pacific Indonesia yang
wajib memiliki izin, sedangkan PT. Green Planet Indonesia sebagai kontraktor
yang hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sipil yang merupakan bagian dari
pekerjaan pengelolaan limbah B3 dengan cara yang merupakan bagian dari
pekerjaan pengelolaan limbah B3 dengan cara Bioremediasi tersebut tidak
memerlukan izin dari KLH, karena pekerjaan tersebut dilaksanakan di
tempat/fasilitas (SBF) milik dan berdasarkan teknologi serta SOP (Standart
Operating Prosedure) penghasil limbah dengan pengawasan penuh oleh PT.
Chevron Pacific Indonesia, dengan demikian Terdakwa/PT. Green Planet Indonesia
tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan hasil tender,
PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SGJ) terpilih melalui
proses pengadaan yang terbuka, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan,
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan
lapangan. PT GPI dan PT SGJ terpilih kembali sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan lapangan. Dalam pengadaan
ini, PT. Riau Putra Kemari yang diwakili oleh Edison Effendi menjadi salah satu
peserta pengadaan yang tidak lolos proses seleksi.
Hubungan hukum antara PT.
Chevron Pacific Indonesia dengan PT.Green Planet Indonesia sebagaimana tersebut
dalam surat dakwaan adalah perjanjian/kontrak antara dua Perseroan Terbatas
(PT) atau swasta dengan swasta untuk melaksanakan pekerjaan Pelaksanaan
Jasa-Jasa Pengoperasian, Perawatan dan Pengelolaan Untuk Fasilitas Bioremediasi
Limbah Tanah Terkontaminasi Minyak, yang tidak terkait dengan keuangan Negara.
Hal ini sesuai dengan isi kontrak antara PT. Chevron Pacific Indonesia dengan
BP Migas/SKK Migas yang intinya bahwa PT. Chevron Pacific Indonesia
berkewajiban untuk mengolah limbah tanah yang terkontaminasi minyak dari usaha
pertambangannya dan biaya pengolahan limbah yang diperhitungkan sebagai bagian
biaya produksi. Artinya, status hukum uang yang dianggarkan untuk biaya
mengolah limbah oleh PT. Chevron Pacific Indonesia tersebut secara hukum adalah
sah secara hukum. Berdasarkan hal di atas maka pihak chevron beserta PT.Green Planet
Indonesia telah melalui jalur hukum yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam dakwaan Subsidair,
Jaksa menggunakan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tetapi unsur yang terkandung dalam pasal 3
tersebut tidak terbukti ketika dipersidangan, seperti menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan juga tidak terbukti, sebab dalam setiap perbuatan/tindak pidana pasti
diliputi/mengandung unsur melawan hukum dan perbuatan yang dilakukan oleh
PT.Green Planet Indonesia tidak terbukti secara melawan hukum.
Bahwa unsur melawan hukum
dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana telah dibuktikan di atas tidak terbukti
secara hukum. Selain itu kontrak-kontrak antara PT. Chevron Pacific Indonesia
dengan PT. Green Planet Indonesia mengenai “Pelaksanaan Jasa-jasa
Pengoperasian, Perawatan dan Pengelolaan Untuk Fasilitas “Bioremediasi” Limbah
Tanah Terkontaminasi Minyak” adalah murni masuk dalam Lingkup Hukum
Keperdataan. Berdasarkan fakta persidangan, PT. Green Planet Indonesia telah
melaksanakan seluruh pekerjaan yang diberikan oleh PT. Chevron Pacific
Indonesia sesuai dengan kontrak dan pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Green
Planet Indonesia tersebut telah diterima dengan baik oleh PT. Chevron Pacific
Indonesia dan semua dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Unsur Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain
atau Suatu Korporasi
Apabila kita mencermati
rumusan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) 18 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 diubah
dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), maka “Unsur melawan
hukum” sebagaimana terurai di atas adalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Bahwa
yang dimaksud “Memperkaya” adalah perbuatan untuk menjadikan orang yang belum
kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya,
memperhatikan pengertian tersebut berarti memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi akan dihubungkan dengan fakta hukum bahwa Terdakwa, orang
lain atau suatu badan telah memperoleh sejumlah uang atau harta, yang
menjadikannya kaya atau bertambah kaya dari suatu perbuatan melawan hukum
sebagaimana terurai di atas.
Sedangkan di dalam perkara
chevron, unsur memperkaya diri sendiri dan perusahaan tidak terbukti, apalagi
segala pembiayaan dan pelaksanaan proyek bioremediasi yang dilakukan oleh
PT. Chevron Pacific Indonesia dengan PT. Green Planet Indonesia mengenai
“Pelaksanaan Jasa-jasa Pengoperasian, Perawatan dan Pengelolaan Untuk Fasilitas
“Bioremediasi” Limbah Tanah Terkontaminasi Minyak” adalah murni masuk dalam
Lingkup Hukum Keperdataan, dan tidak menggunakan uang Negara. Sehingga unsur
memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi tidak terbukti.
3. Unsur Adanya Kerugian Negara Atau
Perekonomian Negara Secara Nyata
Bahwa dalam penerapan
pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 diubah dengan
Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
jo Pasal 64 KUHP terhadap pelaksanaan kontrak antara PT. Chevron Pacific
Indonesia dengan PT. Green Planet Indonesia tentang Pelaksanaan Jasa-Jasa
Pengoperasian, Perawatan, dan Pengelolaan Untuk Fasilitas Bioremediasi Limbah
Tanah Terkontaminasi Minyak di Daerah Operasi Sumatera Light North (SLN) dan
Sumatera Light South (SLS). Menurut ketentuan dalam hukum pidana, adalah tidak
tepat dan tidak memenuhi kaedah penerapan hukum pidana yang baik, tepat dan
benar dalam penerapannya, dengan argumentasi hukum sebagai berikut:
a. Pembuatan dan pelaksanaan kontrak pelaksanaan Jasa-jasa
Pengoperasian, Perawatan dan Pengelolaan untuk Fasilitas Bioremediasi Limbah
Tanah Terkontaminasi Minyak di Daerah Operasi Sumatera Light North (SLN) dan
Sumatera Light South (SLS) adalah murni persoalan hukum perdata dan hukum
administrasi, karena hubungan hukum kontrak tersebut adalah sah dan mengikat
sebagai undang-undang bagi keduanya dan apabila ada perselisihan harus
diselesaikan melaiui mekanisme hukum perdata atau hukum administrasi;
b. Kontrak yang dibuat antara PT. Chevron Pacific Indonesia dengan
PT. Green Planet Indonesia adalah kontrak yang sah antara dua subyek hukum
korporasi/badan hukum perdata (privat) mengenai obyek yang dihalalkan oleh
hukum. Kontrak yang sah mengenai obyek yang halal tidak bisa dikatakan sebagai
kontrak yang melawan hukum. Oleh sebab itu, keuntungan yang dihasilkan dari
kontrak yang sah mengenai obyek yang halal adalah keuntunga yang sah dan
dibenarkan oleh hukum.
c. Sumber dana kontrak pengolahan limbah B3 adalah bagian dari biaya
produksi minyak PT. Chevron Pacific Indonesia yang sudah diatur dalam kontrak
antara PT. Chevron Pacific Indonesia dengan BP Migas/ SKK Migas adalah sah dan
dibenarkan menurut hukum. Jika terjadi perselisihan, menjadi domain hukum
perdata dan diselesaikan melalui
mekanisme hukum perdata;
d. Bahwa Tender Bioremediasi yang dimenangi oleh PT. Green Planet
Indonesia adalah menyangkut pelaksanaan pekerjaan yang telah disepakati bersama
antara PT. Chevron Pacific Indonesia dengan PT. Green Planet Indonesia di atas
adalah tunduk pada ketentuan Pasal 1320, Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata.
Sehingga apabila PT. Green Planet Indonesia diduga tidak melaksanakan isi
Kontrak-kontraknya baik sebagian atau seluruhnya maka pemulihan telah diatur
sedemikian rupa dalam isi kontrak-kontrak tersebut termasuk penyelesaian secara
hukumnya (dispute settlement).
Dengan demikian, hubungan
hukum antara PT. Green Planet Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia
adalah murni tunduk pada hukum kontrak, yang artinya ini masuk dalam ranah
hukum keperdataan bukan ranah hukum pidana sebagaimana perkara yang
disidangkan. Bahwa dengan demikian Surat Dakwaan yang mempermasalahkan
pelaksanaan sebagai hasil perjanjian/kontrak “Pelaksanaan Jasa-Jasa
Pengoperasian, Perawatan, dan Pengelolaan Untuk Fasilitas Bioremediasi Limbah
Tanah Terkontaminasi Minyak” adalah mutlak merupakan ranah hukum keperdataan
yaitu antara PT. Chevron Pacific Indonesia dengan PT. Green Planet Indonesia di
mana keduanya sama-sama merupakan entitas subyek hukum antara swasta dengan
swasta, maka tidaklah tepat apabila Terdakwa didakwa telah melakukan tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum,
oleh karena perbuatan Terdakwa bukanlah suatu tindak pidana, melainkan suatu
perbuatan yang masuk dalam lingkup hukum perdata, sehingga dengan demikian
penerapan hukum pidana adalah sangat tidak tepat dan berdasarkan hukum, dan
oleh karenanya Pengadilan Tipikor yang memeriksa dan mengadili perkara ini
seharusnya menyatakan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa dan mengadilinya
sehingga haruslah dinyatakan dalam amar putusannya menyatakan tidak berwenang
mengadili perkara ini.
Karena dasar hubungan
antara PT. Green Planet Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia
merupakan murni hubungan hukum dalam bidang keperdataan, dan Sumber dana
kontrak pengolahan limbah B3 adalah bagian dari biaya produksi minyak PT.
Chevron Pacific Indonesia yang sudah diatur dalam kontrak antara PT. Chevron
Pacific Indonesia dengan BP Migas/ SKK Migas adalah sah dan dibenarkan menurut
hukum, maka tidak ada kerugian Negara yang diakibatkan oleh pelaksanaan proyek
bioremediasi ini, sehingga unsur Adanya Kerugian Negara Atau Perekonomian
Negara tidaklah terbukti.
c. KESIMPULAN
Berdasarkan pendapat hukum
di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. PT. Chevron Pacific Indonesia dengan PT.Green Planet Indonesia
tidaklah terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan oleh
Jaksa penuntut umum. Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua perusahaan
tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2009 Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
2. Segala bentuk unsur-unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 2 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 (UU
Tipikor) seperti (1) setiap
orang, (2) Unsur melawan hukum, (3) Unsur memperkaya diri sendiri,
orang lain atau suatu korporasi (4) Unsur adanya kerugian negara atau
perekonomian negara secara nyata tidak
terbukti secara hukum, baik dari segi bukti-bukti maupun fakta-fakta yang ada,
sehingga tidak tepat apabila kasus ini masuk dalam ranah pidana, khususnya
ranah pidana korupsi.