LATAR BELAKANG
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di
atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum
adat atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat
dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah
turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.
Keputusan adat adalah
yang termaktub dalam undang-undang tak tertulis sebagai contoh pada masyarakat adat Minangkabau mengatakan bahwa setiap
anak negeri Minangkabau dilarang untuk menjual tanah serta hak milik ulayat
kepada masyarakat lain. Tanah ini hanya boleh dikelola, digadaikan, dan harus
diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keibuan.
Seperti contoh dalam
hukum adat Minangkabau, ada empat tipe kepemilikan tanah, yaitu
(1)
Tanah
ulayat nagari, yaitu tanah yang secara turun-temurun dipergunakan untuk
kepentingan nagari dan penguasannya berada ditangan wali nagari.
(2)
Tanah
ulayat suku, yaitu tanah yang secara turun-temurun dikelola oleh suku dan
dipergunakan untuk kepentingan suku yang pengawasannya berada ditangan kepala
suku.
(3)
Tanah
ulayat kaum, yaitu tanah yang dimiliki suatu kaum yang diperoleh secara
turun-temurun dan pengawasannya berada ditangan mamak kepala waris.
(4)
Tanah
pencaharian, yaitu tanah yang diperoleh berdasarkan pembelian.
Tanah ulayat
merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu masyarakat adat.
Hak
komunal adalah hak atas tanah suatu masyarakat hukum adat. Hak komunal atau
yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat itu diakui dengan pembatasan
tertentu, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya yang telah ditegaskan
dalam Pasal 3 UUPA. Berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat,
maka kritreria penentu eksistensi
hak
ulayat didasarkan pada tiga unsur, yaitu
(1) Subyek hak ulayat,
yakni masyarakat hukum adat,
(2) Obyek hak ulayat,
yakni tanah dan wilayah, dan
(3) Adanya kewenangan
tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola tanah di wilayahnya,
termasuk menetukan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan
persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya itu.
Hak
ulayat diakui keberadaannya sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Dalam
pelaksanaannya, hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Kebijaksanaan
pertanahan secara konseptual yang berlandaskan UndangUndang Dasar 1945 telah diatur
dan digariskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960, yang selanjutnya disebut UUPA. Undang-undang ini bersumber dari
hukum tertulis, yaitu UUD 1945, undang – undang pokok dan peraturan – peraturan
lain yang bersumber dari hukum tidak tertulis, yaitu hukum adat.
Peraturan
mengenai tanah ulayat diatur secara spesifik dalam peraturan daerah untuk tiap
masing-masing daerah seperti pada peraturan daerah Sumatra Barat Nomor 6 tahun
2008 mengatur mengenai Tanah Ulayat dan Pemanfaatnnya.
Pasal 18B ayat
(2)(Amandemen kedua) UUD 1945 menyebutkan:
“Negara mengakui dan
menghormatikesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidupdan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang ”
Selanjutnya, Pasal 28i
ayat (3) (Amandemen Kedua)
menyebutkan: “
Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban
Banyak permasalahan
yang timbul dalam pembebasan lahan pada tanah ulayat dikarenakan masih hukum
adat dan hukum waris adat belum berorientasi kepada pembangunan tetapi masih
berorientasi ke tradisional.
dalam masyarakat
hukum adat terdapat lembaga yang bertugas mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dalam harta peninggalan, dan permasalahan sengketa dalam masyarkat
adat.
PERMASALAHAN
Bagaimana pengadaan
Tanah di wilayah ulayat untuk kepentingan pembangunan jaringan pipa gas?
PEMBAHASAN
Dalam pengadaan
tanah di wilayah ulayat yang diperuntukan untuk kepentingan pembangunan
jaringan pipa gas yang akan diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini bisa pemerintah
pusat ataupun BUMN dan juga yang diselenggarakan oleh swasta kesemua hal
tersebut harus menilik pada peratuan perundang-undangan yang ada.
Dalam Pasal 18 UUPA
yang berbunyi untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
Dinamika
pembangungan nasional, seringkali menuntut negara untuk melakukan penataan
kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta
masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bagi
kepentingan umum.
Dalam peraturan
menjelaskan sebagai berikut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak.” Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.”
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 “ Pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman,
dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Dalam pengadaan Tanah
untuk kepentingan umum harus mengedepankan asas-asas antara lain kemanusiaan,
keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan sehingg tujuan pengadaan tanah
yang dimana menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap
menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Yang termasuk dalam
batasan Kepentingan Umum berdasarkan Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 dan
perpres 65 tahun 2006 adalah :
·
Pertahanan
dan keamanan nasional,
·
Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur
kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
·
Waduk,
bendungan, bendung, irigasi,saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
·
Pelabuhan,
bandar udara, dan terminal;
·
Infrastruktur
minyak, gas, dan panas bumi;
·
Pembangkit,
transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
·
Jaringan
telekomunikasi dan informatika pemerintah;
·
Tempat
pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
·
Fasilitas
keselamatan umum; tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas
sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
·
Cagar
alam dan cagar budaya;
·
Kantor
pemerintah/pemerintah daerah/desa;
·
Penataan
permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
·
Prasarana pendidikan atau sekolah
pemerintah/pemerintah daerah;
·
Prasarana
olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.
Proses Perencanaan
pengdaan tanah untuk kepentingan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah
harus berdasar atas rencana Tata Ruang Wilayah, Prioritas pembangunan yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana
Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan yang dituangkan dalam dokumen
perencanaan.
Tanah
milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti : tanah titian,
tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok dll Untuk jenis tanah milik
masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja. Kalau pun
ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara tukar
guling (ruislag) atau melalui pelepasan
hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.
Pelepasan Hak/Pembebasan Hak
Mengenai pelepasan hak atas tanah
diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang
dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan
umum dalam Keppres ini dirumuskan sebagai kepentingan dari seluruh lapisan
masyarakat.
Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam
Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Cara memperoleh
tanah yang diatur dalam Keppres ini juga bemacam-macam, yaitu dengan cara
jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dan dilaksanakan bedasarkan prinsip penghomatan
terhadap hak atas tanah.
Pembentukan panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibentuk
oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan dibentuk juga di setiap Kabupaten dan
Kotamadya Daerah tingkat II. Susunan dari panitia pengadaan tanah untuk
kepentingan umum serta wewenangnya tersebut diatur dalam Pasal 7 dan 8 Keppres
ini.
Musyawarah pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dilaksanakan langsung antara
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi Pemerintah yang
memerlukan, yang dipimpin langsung oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah.
Perihal ganti kerugian dalam rangka
pengadaan tanah, diberikan untuk:
1.
hak atas tanah;
2.
bangunan;
3.
tanaman;
4.
benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah.
Adapun bentuk ganti kerugian dalam
rangka pengadaan tanah, dapat berupa:
1.
uang;
2.
tanah pengganti;
3.
pemukiman kembali;
4.
gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
5.
bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
6.
Bagi penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai
dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk
lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat. Dasar dan cara perhitungan ganti
kerugian ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Keppres ini, yaitu:
7.
harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau
sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang
terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
8.
nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
9.
nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah
Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Tanah Ulayat adalah Tanah Bersama Para Warga Masyarakat Hukum Adat
yang bersangkutan. Hak Penguasaan atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dikenal
dengan Hak Ulayat. Hak Ulayat merupakan serangkaian Wewenang dan Kewajiban
Suatu Masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) mengakui adanya Hak
Ulayat. Pengakuan
itu ada 2 (dua) bentuk yaitu mengenai
Eksistensinya dan mengenai Pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, Hak Ulayat
diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada” ,
Secara
eksitensi Hak
Ulayat telah diakui dalam UUPA, Pengakuan tentang keberadaan Hak Ulayat dapat
dibuktikan dengan adanya Pasal 3 UUPA. Pengakuan
tersebut timbul, karena Masyarakat Hukum Adat beserta Hak ulayatnya telah ada sebelum terbentuknya
negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
1.
Dengan demikian, tanah ulayat tidak
dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut
kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat
bersangkutan atau kepala adat bersangkutan;
2.
Sebaliknya, tanah ulayat dapat
dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut
kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah
ulayat”;
3.
Status tanah ulayat dapat dijadikan
sebagai hak milik perorangan apabila status
tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”. Tanah bekas ulayat
merupakan tanah yang tidak dihaki lagi oleh masyarakat hukum adat, untuk itu
berdasarkan UUPA tanah tersebut secara otomatis dikuasai langsung oleh negara.
Dalam praktik administrasi digunakan sebutan tanah negara. Tanah negara itulah
yang dapat dialihkan menjadi hak milik perseorangan; Tata cara peralihan hak atas tanah negara
menjadi hak milik diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 (Permenag/KBPN No. 9/1999). Menurut pasal
9 ayat (1) jo. pasal 11 Permenag/KBPN No. 9/1999, Permohonan Hak Milik atas
tanah negara diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor
Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Permohonan tersebut memuat (pasal 9 ayat (2) Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999)
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah tanah ulayat
pada dasarnya bisa dilakukan sepanjang
mendapat persetujuan dari seluruh kepala adat tersebut dan persetujuan dari
pemilik tanah ulayat tersebut dan bentuk pelepasan kemudaian bisa di daftarkan
hanya sebaas HGU ( Hak Guna Usaha) yang dimana dapat di berikan selama 35 tahun
dan dapat diperpanjang satu kali yang kemudian setelah selesai kembali lagi
menjadi tanah milik Hak Ulayat.
Berdasarkan Pasal 4 Pemenag No. 5/1999, setelah disertifikatkan,
tanah ulayat dapat dikuasai oleh masyarakat adat itu sendiri dan oleh pihak
lain. Penguasaan oleh pihak lain dapat oleh instansi pemerintah, dan badan
hukum ataupun perseorangan. Pelepasan hak penguasaan tersebut sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Salah satu bentuk penguasaan
tanah ulayat oleh pihak lain adalah berupa HGU.
Berdasarkan PP No 40/1996,
HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan.
Hal ini merupakan
perluasan pemberian alas HGU berdasar UUPA dengan prinsip transparansi,
akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
Umumnya HGU berlaku untuk tanah negara, sebagaimana Pasal 28 ayat
1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan
Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No. 5/1999 menyatakan
bahwa: ”Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk
keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak
Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan
tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis,
atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga
Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan
selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada
sesuai ketentuan Pasal 2.
Contoh penerbitan HGU di tanah ulayat terjadi di kabupaten Pasaman
(Sumbar). Pasal 4 Keputusan Bupati Pasaman No. 6/1998 menyatakan, ayat 1:
”Pengadaan kebun plasma berasal dari penyerahan tanah oleh Ninik
Mamak/Pemilik/Penguasa, tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara
melalui Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperuntukkan bagi kelompok tani
peserta plasma dengan pola Bapak Angkat Anak Angkat”. Selanjutnya pada ayat 2:
“Bupati Kepala Daerah setelah menerima penyerahan tanah dan berikutnya calon
petani peserta plasma sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, memerintahkan
kepada kepala BPN untuk mencatat (Registrasi) sebagai tanah negara bekas tanah
ulayat adat, memasang tanda-tanda batas, melaksanakan pengukuran keliling dan
penghitungan luas areal secara kadesteral”.
Dalam hal adanya pengakuan hak ulayat
masyarakat hukum adat di suatu daerah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan
melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat bersangkutan yang
berlaku;
Proses
pembebasan tanah ulayat untuk pembangunan Jaringan Pipa yang diselenggarakan
oleh pemerintah ataupun swasta. Harus dilakukan dengan pendekatan secara
instensif kepada pemuka adat setempat dan adanya kesepakatan serta bentuk
negosiasi yang adil anatara kedua belah pihak serta bentuk pendekatan social
oleh aktor-aktor yang ada di adalam masyarakat.
Dalam
Penelitian Pembebasan Tanah Ulayat Untuk Pembangunan Resort Sikuai Di Kecamatan
Bungus Teluk Kabung oleh AGUNG ROHMADI pada Universitas Andalas
Dari
hasil penelitian kontruksi sosial terlihat ada negosiasi yang menguntungkan
oleh kedua belah pihak yaitu dari
masyarakat adat dan pengembang Resosrt Sikuai dan pada tahap negosiasi
dilakukan mekanisme :
1.
Keterlibatan
Kerapatan Adat atau Kepengurusan Adat
2.
Adanya
koreksi aturan adat tentang tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat,
sehingga pembebasan tanah ulayat itu sendiri tidak melanggar aturan-aturan
hukum adat dan factor-faktor ini juga menjadi pertimbangan dalam membebaskan
tanah ulayat.
3.
Terdapat
alasan masyarakat merajuk kepada aturan adat yang menjadi pertimbangan tadi,
seperti penggunaan dana pembebasan tanah atau ganti rugi yang selayak-layaknya
untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat adat setempat, misalnya
pembangunan sarana dan prasarana yang ada pada masyarakat ada tersebut.
Dalam
pelaksanaan pembebasan tanah ulayat ini terdapat dua pihak yang saling
membutuhkan. Pihak pertama diuntungkan karena tanah adat mereka dapat lebih
maju dan dikenal dari luar, sedangkan pihak kedua diuntungkan karena secara
investasi mereka ekonomi berkembang. Hubungan seperti itu dapat berlangsung
dengan harmonis apabila kedua belah pihak saling menghargai hak milik
masing-masing.
Akan
tetapi apabila perundingan atau kesepakatan tidak pernah terjalin atau tidak
ada kesepakatan maka pembebasan tanah adat tidak dapat dilakukan.
KESIMPULAN
Hak Ulayat atau
beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat,
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dalam UUPA,
tidak dijelaskan tentang pengertian Hak Ulayat. Namun dalam kepustakaan hukum
adat, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak Ulayat adalah beschikkingsrechts. Eksistensi Hak
Ulayat telah diakui dalam UUPA, Pengakuan tentang keberadaan Hak Ulayat dapat
dibuktikan dengan adanya Pasal 3 UUPA. Pengakuan
tersebut timbul, karena Masyarakat Hukum Adat beserta Hak ulayatnya telah ada
sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
UU No. 5 Tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi :
“Dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”
Pengakuan hak tanah ulayat tersebut perlu dilihat sesuai yang diatur
dalam Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih
ada”, sebagaimana telah dijelaskan
diatas;
Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak
milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya
dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat
bersangkutan;
Pada inti dari
Pembebasan tanah Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum dapat dilakukan sepanjang
adanya kesepakatan antara pemohon dengan
kepengurusan adat dalam hal ini kepala adat meskipun dilakukan atau atas dasar
ketentuan perundangan-undangan dan dilakukan dengan dengan pemohonan pelepasan
hak yang dimana harus ada persetujuan dari kepala adat dimana tanah akan
dilepaskan dan bentuk pensertifikatan hanya sebatas HGU (Hak Guna Usaha) yang
dimana pada berakhirnya masa HGU maka akan di kembalikan lagi menjadi tanah
milik Hak Ulayat.