Pembebasan Tanah di Wilayah Hak Ulayat untuk Kepentingan Umum

LATAR BELAKANG
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Keputusan adat adalah yang termaktub dalam undang-undang tak tertulis sebagai contoh pada  masyarakat adat Minangkabau mengatakan bahwa setiap anak negeri Minangkabau dilarang untuk menjual tanah serta hak milik ulayat kepada masyarakat lain. Tanah ini hanya boleh dikelola, digadaikan, dan harus diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keibuan.
Seperti contoh dalam hukum adat Minangkabau, ada empat tipe kepemilikan tanah, yaitu
(1)   Tanah ulayat nagari, yaitu tanah yang secara turun-temurun dipergunakan untuk kepentingan nagari dan penguasannya berada ditangan wali nagari.
(2)   Tanah ulayat suku, yaitu tanah yang secara turun-temurun dikelola oleh suku dan dipergunakan untuk kepentingan suku yang pengawasannya berada ditangan kepala suku.
(3)   Tanah ulayat kaum, yaitu tanah yang dimiliki suatu kaum yang diperoleh secara turun-temurun dan pengawasannya berada ditangan mamak kepala waris.
(4)   Tanah pencaharian, yaitu tanah yang diperoleh berdasarkan pembelian.
Tanah ulayat merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu masyarakat adat.
Hak komunal adalah hak atas tanah suatu masyarakat hukum adat. Hak komunal atau yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat itu diakui dengan pembatasan tertentu, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya yang telah ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA. Berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, maka kritreria penentu eksistensi

hak ulayat didasarkan pada tiga unsur, yaitu

(1) Subyek hak ulayat, yakni masyarakat hukum adat,
(2) Obyek hak ulayat, yakni tanah dan wilayah, dan
(3) Adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola tanah di wilayahnya, termasuk menetukan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya itu.

Hak ulayat diakui keberadaannya sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Dalam pelaksanaannya, hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Kebijaksanaan pertanahan secara konseptual yang berlandaskan UndangUndang Dasar 1945 telah diatur dan digariskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang selanjutnya disebut UUPA. Undang-undang ini bersumber dari hukum tertulis, yaitu UUD 1945, undang – undang pokok dan peraturan – peraturan lain yang bersumber dari hukum tidak tertulis, yaitu hukum adat.

Peraturan mengenai tanah ulayat diatur secara spesifik dalam peraturan daerah untuk tiap masing-masing daerah seperti pada peraturan daerah Sumatra Barat Nomor 6 tahun 2008 mengatur mengenai Tanah Ulayat dan Pemanfaatnnya.

Pasal 18B ayat (2)(Amandemen kedua) UUD 1945 menyebutkan:
Negara mengakui dan menghormatikesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidupdan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang

Selanjutnya, Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua)
menyebutkan: “
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban

Banyak permasalahan yang timbul dalam pembebasan lahan pada tanah ulayat dikarenakan masih hukum adat dan hukum waris adat belum berorientasi kepada pembangunan tetapi masih berorientasi ke tradisional.
dalam masyarakat hukum adat terdapat lembaga yang bertugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dalam harta peninggalan, dan permasalahan sengketa dalam masyarkat adat.
PERMASALAHAN
Bagaimana pengadaan Tanah di wilayah ulayat untuk kepentingan pembangunan jaringan pipa gas?
PEMBAHASAN
Dalam pengadaan tanah di wilayah ulayat yang diperuntukan untuk kepentingan pembangunan jaringan pipa gas yang akan diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini bisa pemerintah pusat ataupun BUMN dan juga yang diselenggarakan oleh swasta kesemua hal tersebut harus menilik pada peratuan perundang-undangan yang ada.
Dalam Pasal 18 UUPA yang berbunyi untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Dinamika pembangungan nasional, seringkali menuntut negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bagi kepentingan umum.
Dalam peraturan menjelaskan sebagai berikut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.” Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 “ Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Dalam pengadaan Tanah untuk kepentingan umum harus mengedepankan asas-asas antara lain kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan sehingg tujuan pengadaan tanah yang dimana menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Yang termasuk dalam batasan Kepentingan Umum berdasarkan  Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 dan perpres 65 tahun 2006 adalah :
·         Pertahanan dan keamanan nasional,
·          Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
·         Waduk, bendungan, bendung, irigasi,saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
·         Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
·         Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
·         Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
·         Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
·         Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
·         Fasilitas keselamatan umum; tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
·         Cagar alam dan cagar budaya;
·         Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
·         Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
·          Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
·         Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.
Proses Perencanaan pengdaan tanah untuk kepentingan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah harus berdasar atas rencana Tata Ruang Wilayah, Prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan.
Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti : tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok dll Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja. Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.
Pelepasan Hak/Pembebasan Hak
Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan umum dalam Keppres ini dirumuskan sebagai kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.

Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Cara memperoleh tanah yang diatur dalam Keppres ini juga bemacam-macam, yaitu dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan dilaksanakan bedasarkan prinsip penghomatan terhadap hak atas tanah.

Pembentukan panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan dibentuk juga di setiap Kabupaten dan Kotamadya Daerah tingkat II. Susunan dari panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta wewenangnya tersebut diatur dalam Pasal 7 dan 8 Keppres ini.

Musyawarah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dilaksanakan langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi Pemerintah yang memerlukan, yang dipimpin langsung oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Perihal ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, diberikan untuk:

1.    hak atas tanah;
2.    bangunan;
3.    tanaman;
4.    benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah.

Adapun bentuk ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, dapat berupa:

1.    uang;
2.    tanah pengganti;
3.    pemukiman kembali;
4.    gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
5.    bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
6.    Bagi penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat. Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Keppres ini, yaitu:
7.    harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
8.    nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
9.    nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

Tanah Ulayat adalah Tanah Bersama Para Warga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. Hak Penguasaan atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak Ulayat merupakan serangkaian Wewenang dan Kewajiban Suatu Masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat.  Pengakuan itu ada 2 (dua) bentuk  yaitu mengenai Eksistensinya dan mengenai Pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, Hak Ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada” ,

Secara eksitensi Hak Ulayat telah diakui dalam UUPA, Pengakuan tentang keberadaan Hak Ulayat dapat dibuktikan dengan adanya Pasal 3 UUPA. Pengakuan tersebut timbul, karena Masyarakat Hukum Adat beserta Hak  ulayatnya telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945

1.     Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan;

2.     Sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah ulayat”;

3.     Status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik perorangan apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”. Tanah bekas ulayat merupakan tanah yang tidak dihaki lagi oleh masyarakat hukum adat, untuk itu berdasarkan UUPA tanah tersebut secara otomatis dikuasai langsung oleh negara. Dalam praktik administrasi digunakan sebutan tanah negara. Tanah negara itulah yang dapat dialihkan menjadi hak milik perseorangan; Tata cara peralihan hak atas tanah negara menjadi hak milik diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 (Permenag/KBPN No. 9/1999). Menurut pasal 9 ayat (1) jo. pasal 11 Permenag/KBPN No. 9/1999, Permohonan Hak Milik atas tanah negara diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Permohonan tersebut memuat (pasal 9 ayat (2) Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999)

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah tanah ulayat pada dasarnya bisa  dilakukan sepanjang mendapat persetujuan dari seluruh kepala adat tersebut dan persetujuan dari pemilik tanah ulayat tersebut dan bentuk pelepasan kemudaian bisa di daftarkan hanya sebaas HGU ( Hak Guna Usaha) yang dimana dapat di berikan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang satu kali yang kemudian setelah selesai kembali lagi menjadi tanah milik Hak Ulayat.

Berdasarkan Pasal 4 Pemenag No. 5/1999, setelah disertifikatkan, tanah ulayat dapat dikuasai oleh masyarakat adat itu sendiri dan oleh pihak lain. Penguasaan oleh pihak lain dapat oleh instansi pemerintah, dan badan hukum ataupun perseorangan. Pelepasan hak penguasaan tersebut sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Salah satu bentuk penguasaan tanah ulayat oleh pihak lain adalah berupa HGU.

Berdasarkan PP No 40/1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan.
Hal ini merupakan perluasan pemberian alas HGU berdasar UUPA dengan prinsip transparansi, akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
Umumnya HGU berlaku untuk tanah negara, sebagaimana Pasal 28 ayat 1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No. 5/1999 menyatakan bahwa: ”Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.

Contoh penerbitan HGU di tanah ulayat terjadi di kabupaten Pasaman (Sumbar). Pasal 4 Keputusan Bupati Pasaman No. 6/1998 menyatakan, ayat 1: ”Pengadaan kebun plasma berasal dari penyerahan tanah oleh Ninik Mamak/Pemilik/Penguasa, tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara melalui Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperuntukkan bagi kelompok tani peserta plasma dengan pola Bapak Angkat Anak Angkat”. Selanjutnya pada ayat 2: “Bupati Kepala Daerah setelah menerima penyerahan tanah dan berikutnya calon petani peserta plasma sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, memerintahkan kepada kepala BPN untuk mencatat (Registrasi) sebagai tanah negara bekas tanah ulayat adat, memasang tanda-tanda batas, melaksanakan pengukuran keliling dan penghitungan luas areal secara kadesteral”.

Dalam hal adanya pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat bersangkutan yang berlaku;
            
Proses pembebasan tanah ulayat untuk pembangunan Jaringan Pipa yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta. Harus dilakukan dengan pendekatan secara instensif kepada pemuka adat setempat dan adanya kesepakatan serta bentuk negosiasi yang adil anatara kedua belah pihak serta bentuk pendekatan social oleh aktor-aktor yang ada di adalam masyarakat.

Dalam Penelitian Pembebasan Tanah Ulayat Untuk Pembangunan Resort Sikuai Di Kecamatan Bungus Teluk Kabung oleh AGUNG ROHMADI pada Universitas Andalas

Dari hasil penelitian kontruksi sosial terlihat ada negosiasi yang menguntungkan oleh kedua belah pihak yaitu  dari masyarakat adat dan pengembang Resosrt Sikuai dan pada tahap negosiasi dilakukan mekanisme :

1.    Keterlibatan Kerapatan Adat atau Kepengurusan Adat
2.    Adanya koreksi aturan adat tentang tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga pembebasan tanah ulayat itu sendiri tidak melanggar aturan-aturan hukum adat dan factor-faktor ini juga menjadi pertimbangan dalam membebaskan tanah ulayat.
3.    Terdapat alasan masyarakat merajuk kepada aturan adat yang menjadi pertimbangan tadi, seperti penggunaan dana pembebasan tanah atau ganti rugi yang selayak-layaknya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat adat setempat, misalnya pembangunan sarana dan prasarana yang ada pada masyarakat ada tersebut.

Dalam pelaksanaan pembebasan tanah ulayat ini terdapat dua pihak yang saling membutuhkan. Pihak pertama diuntungkan karena tanah adat mereka dapat lebih maju dan dikenal dari luar, sedangkan pihak kedua diuntungkan karena secara investasi mereka ekonomi berkembang. Hubungan seperti itu dapat berlangsung dengan harmonis apabila kedua belah pihak saling menghargai hak milik masing-masing.

Akan tetapi apabila perundingan atau kesepakatan tidak pernah terjalin atau tidak ada kesepakatan maka pembebasan tanah adat tidak dapat dilakukan.

KESIMPULAN
Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dalam UUPA, tidak dijelaskan tentang pengertian Hak Ulayat. Namun dalam kepustakaan hukum adat, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak Ulayat adalah beschikkingsrechts. Eksistensi Hak Ulayat telah diakui dalam UUPA, Pengakuan tentang keberadaan Hak Ulayat dapat dibuktikan dengan adanya Pasal 3 UUPA. Pengakuan tersebut timbul, karena Masyarakat Hukum Adat beserta Hak ulayatnya telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi : 
Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”
Pengakuan hak tanah ulayat tersebut perlu dilihat sesuai yang diatur dalam Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, sebagaimana telah dijelaskan diatas;
Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan;
Pada inti dari Pembebasan tanah Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum dapat dilakukan sepanjang adanya kesepakatan antara  pemohon dengan kepengurusan adat dalam hal ini kepala adat meskipun dilakukan atau atas dasar ketentuan perundangan-undangan dan dilakukan dengan dengan pemohonan pelepasan hak yang dimana harus ada persetujuan dari kepala adat dimana tanah akan dilepaskan dan bentuk pensertifikatan hanya sebatas HGU (Hak Guna Usaha) yang dimana pada berakhirnya masa HGU maka akan di kembalikan lagi menjadi tanah milik Hak Ulayat.