Masih Adakah Marwah Prinsip Erga Omnes Dalam Putusan MK



Masih Adakah Marwah Prinsip Erga Omnes Dalam Putusan MK


Lewat putusan bernomor 34/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali dalam perkara pidana yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya. MK menjelaskan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat, terlebih dari Mahkamah Agung (MA) yang secara tegas menolak putusan MK ini. Mahkamah agung berpendapat bahwa apabila upaya peninjauan kembali (PK) dapat diajukan berkali-kali maka cara tersebut dapat digunakan oleh para terpidana untuk menghindari eksekusi dan mengulur-ngulur waktu, dan selain itu MA juga berpendirian bahwa PK berkali-kali tidak memberikan kepastian hukum yang tetap. 
Untuk mempertegas hal ini MA pun menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. SEMA ini secara jelas telah mengesampingkan putusan MK nomor: 34/PUU-XI/2013 yang telah memperbolehkan pengajuan PK dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari sekali. Lantas pertanyaan yang paling mendasar adalah manakah yang lebih tinggi untuk dipatuhi, apakah Putusan MK yang sifatnya mengikat semua pihak ataukah Surat Edaran Mahkamah Agung yang sifatnya mengatur internal kedalam institusi MA?

Esensi Erga Omnes dalam Putusan MK
Putusan MK merupakan putusan yang mengikat secara erga omnes, artinya putusan MK tidak hanya mengikat para pihak (interparties), tetapi juga harus dipatuhi dan ditaati oleh siapapun (erga omnes). Prinsip hukum erga omnes ini tercermin dalam putusan MK yang dapat langsung dilaksanakan dengan tidak lagi membutuhkan keputusan dari lembaga atau pejabat lain. Selain itu Putusan MK menyangkut terkait objeknya yang menyangkut kepentingan bersama dan semua orang, misalkan sebagai contoh terkait pengujian undang-undang (UU), dimana undang-undang sifatnya mengikat secara umum kepada semua warga negara, maka secara logika hukum apabila undang-undang tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat oleh MK, maka UU yang dibatalkan itupun tidak mengikat kepada seluruh warga negara dikarenakan sudah dibatalkan, inilah esensi dari prinsip hukum erga omnes.

Apabila dikaji secara normatif, konstitusi sudah mengatur MA sebagai kekuasaan kehakiman yang mengatur untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut memberikan penjelasan kepada kita bahwa keadilan merupakan hak konstitusional yang paling esensial yang dimiliki oleh warga negara, sehingga MA sebagai ujung tombak para pencari keadilan (justiabelen) harus membuka ruang selebar-lebarnya bagi para pencari keadilan untuk memperjuangkan keadilan atas hak kebebasan dan kehidupannya, apalagi dalam perkara pidana kebenaran materiel yang harus dicari sampai akhir.

Dengan prinsip erga omnes yang terdapat dalam putusan MK, maka secara umum putusan MK tersebut mengikat semua pihak, termasuk mahkamah agung. Dengan diterbitkannya Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali tidak bisa membatalkan atau sampai menyimpangi putusan MK 34/PUU-XI/2013. Apabila SEMA ini tetap diterapkan dan berlaku penuh sebagai legitimasi dalam menolak permohonan PK lanjutan (PK kedua kalinya) dalam perkara pidana maka bisa kita simpulkan bahwa putusan MA atas penolakan pengajuan PK tersebut bisa inkonstitusional,  inkonstitusional dikarenakan secara langsung putusan MA tersebut telah bertentangan dengan putusan MK yang menjadi dasar ujinya adalah Konstitusi. Bagaimana bisa MA tetap berpegang teguh kepada pasal yang telah dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh MK yang notabennya merupakan lembaga satu-satunya yang berhak menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (UUD).

Walaupun MA berpendapat bahwa aturan larangan PK lebih dari sekali tidak hanya diatur dalam KUHAP saja yang dalam hal ini pasalnya sudah dibatalkan oleh MK, tetapi juga terdapat dalam aturan lain yang mengatur pengajuan PK, seperti yang terdapat dalam UU kekuasaan kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Pendapat tersebut tergolong prematur dikarenakan yang menjadi landasan sistem peradilan pidana Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), termasuk aturan pokok mengenai Peninjauan kembali. KUHP dan KUHAP sebagai "Penal Code" Indonesia sehingga apapun yang berkaitan mengenai pidana, pemidanaan, dan penjatuhan sanksi serta pelaksanaan hukuman semuanya diatur dalam KUHP, KUHAP dan aturan pidana khusus lainnya yang tidak boleh bertentangan dengan KUHP dan KUHAP.

Akan tetapi sebenarnya secara hukum, MA telah memberikan peluang untuk mengajukan PK lebih dari sekali melalui Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tanggal pada 12 Juni 2009 tentang PK yang isinya memberikan kesempatan PK lebih dari sekali baik terhadap perkara perdata maupun pidana, dalam SEMA tersebut, butir kedua menyebutkan apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan lainnya baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan PK agar permohonan PK tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke MA. 

Implementasi upaya hukum luar biasa memiliki tujuan untuk menemukan keadilan substansif dan kebenaran materiel. Apabila keadilan dibatasi hanya karena demi kepastian hukum maka hal tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang berlandaskan atas Hak asasi manusia. Keadilan tidak dapat serta merta dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa (PK) yang hanya dapat diajukan satu kali. Kemungkinan saja terjadi setelah diajukan PK dan telah diputus terdapat keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan.

Keadaan baru novum inilah yang sesungguhnya menjadi dasar diterimanya PK atau tidak. Sejatinya PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam putusannya MK menegaskan bahwa upaya untuk mencapai kepastian hukum dapat dibatasi, namun perlu untuk diperhatikan upaya untuk mencari keadilan substansif itu berbeda dengan makna mencari kepastian hukum, karena keadilan merupakan kebutuhan hakiki manusia yang sangat mendasar daripada kepastian hukum.